Bismillaahirrahmaanirrahiim..
Assalamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh...
Wahyu
adalah pilar dan pondasi kenabian serta termasuk salah satu dari rukun
agama–agama samawi. Wahyu merupakan jalur khusus dan rahasia yang
menghubungkan antara Tuhan dan manusia-manusia pilihan (baca: nabi dan
rasul). Tuhan "berhubungan" dengan nabi dan rasul, baik secara langsung
maupun tak langsung, dengan perantaraan wahyu. Dan Tuhan menurunkan
wahyu yang mengandung, pengetahuan, hukum-hukum, dan undang-undang ke
dalam hati nabi dan memerintahkan kepadanya untuk menyampaikannya kepada
seluruh umat manusia. Para nabi mendapatkan hakikat-hakikat dari alam
gaib dengan perantaraan hubungan malakuti dan transenden yang tercipta
melalui hati bukan dengan menggunakan indra-indra lahiriah, akal,
pemikiran, dan silogisme logikal. Berdasarkan hubungan malakuti inilah
para nabi mengenal Tuhan dan menerima tanggungjawab suci yang dibebankan
kepadanya sebagai utusan Tuhan dan nabi untuk mengarahkan umat manusia
mencapai tujuan hakiki penciptaannya, yakni kebahagiaan abadi dan
kesempurnaan hakiki pasca kehidupan di dunia ini.
Wahyu
adalah sebuah eksistensi transendental yang berada di luar ranah dan
wilayah akal pikiran manusia, karena itu manusia mustahil mengetahui
esensi dan hakikat wahyu dengan perantaraan akal. Wahyu bukanlah sebuah
eksistensi yang bersifat material atau berhubungan dengan alam natural
sehingga manusia bisa mengetahuinya dengan menggunakan
perangkat-perangkat indrawi dan alat-alat ilmu empirik.
Hakikat
wahyu tidaklah bisa dideskripsikan oleh akal dan tidak bisa
didefenisikan dengan apapun. Para nabi memahami hakikat wahyu dan
menyaksikannya dengan keluasan dan kesucian batinnya.
Hakikat
wahyu yang disaksikan langsung oleh para nabi bukan dalam bentuk
huruf-huruf dan tidak bisa disampaikan kepada yang orang lain, akan
tetapi kandungan wahyu yang kaya dan sarat dengan informasi dari
Tuhanlah yang bisa ditransfer kepada orang lain. Ketika para nabi
menyampaikan wahyu tidaklah berarti bahwa para nabi menyampaikan
pengalaman batinnya di alam metafisika yang merupakan sebuah eksistensi
di luar alam materi dan alam tabiat. Para pengikut dan sahabat hanyalah
menyaksikan tanda-tanda bahwa nabi menerima wahyu dan mereka tidak
mengalami apa yang terjadi pad nabi pada saat menerima hakikat wahyu.
Oleh
karena itu, kami dengan jelas mengatakan bawa kita tidak bisa
menjelaskan dan memahami hakikat wahyu dan tidak dapat memberikan
definisi yang komprehensif terhadap sebuah eksistensi transendental yang
di luar jangkauan akal manusia. Dan para pembaca yang budiman sebaiknya
tidak berharap demikian, akan tetapi tujuan kami adalah menjelaskan
apa-apa yang akan membantu kita dalam memahami wahyu secara lahiriah dan
mendekatkan pikiran kita tentang hubungan rahasia dan luar biasa ini.
Inilah tujuan kami ketika mengutip dan menyandarkan perkataan kami
kepada para filosof dan para urafa. Dan dengan menalaah perkataan para
ilmuwan tersebut akan memberikan perspektif yang benar tentang wahyu
pada kita.
Bukan berarti bahwa dengan ketidakmampuan mengetahui
esensi wahyu menyebabkan pengingkaran pada wahyu, kenabian, rasul, dan
pembawa wahyu itu sendiri, karena kenabian adalah masalah yang telah
dibahas dan diteliti secara cermat dalam buku-buku teologi dan filsafat
serta sudah dibuktikan keberadaannya dengan mengemukakan argumentasi
logikal dan rasional. Pembuktian kebenaran kenabian tidak bergantung
pada pengetahuan kita tentang hakikat dan esensi wahyu.
Di
samping itu, pengutusan para nabi adalah sebuah kenyataan sejarah yang
tak dapat dipungkiri. Dan di sepanjang sejarah kehidupan manusia,
manusia-manusia pilihan bangkit dan hadir untuk membimbing dan memberi
petunjuk kepada manusia dan memproklamirkan bahwa mereka miliki
hubungan khusus dengan Tuhan. Dan mereka memiliki program dan rencana
untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran dan menunjukkan jalan
keselamatan dan kebahagian di dunia dan akhirat. Dengan kesaksian
sejarah pula, para nabi merupakan manusia-manusia pilihan yang tidak
memiliki cacat dan celah dalam kehidupannya, mereka terkenal sebagai
orang yang amanah, orang shaleh, jujur, ikhlas, berakhlak baik, dan
berbudi pekerti yang luhur. Di samping itu, mereka juga menunjukkan
mukjizat untuk membuktikan kenabian mereka, memaparkan perintah-perintah
Tuhan dengan pasti dan bijaksana, menampakkan keimanan yang kuat dan
perkataan yang benar, dan mengajak manusia untuk beriman kepada Tuhan
dan alam gaib. Mereka terkenal sebagai orang jujur dan amanah serta bisa
dipercaya, karena itu manusia mempercayainya dan menerima ajakannya,
setia, berjihad, dan bersungguh-sungguh untuk mengamalkan
perintah-perintahnya.
Revolusi, evolusi, dan reformasi
suci yang terjadi pada sejarah kehidupan manusia berkat bimbingan para
nabi yang memiliki otentik sejarah dimana meninggalkan pengaruh yang
sangat mendalam pada diri manusia. Dan tak diragukan lagi, jika gerakan
para nabi di sepanjang sejarah tidak tercapai maka kondisi dunia sudah
pasti tidak seperti sekarang ini, para pembaharu kemanusiaan yang
mengaku sebagai nabi itu dan dengan usahanya yang tak kenal lelah tidak
bisa dikatakan sebagai para penipu dan pembohong.
Nabi
Muhammad saw merupakan salah satu dari wajah-wajah suci dalam sejarah
kenabian, beliau adalah nabi terakhir dan nabi yang paling dekat dengan
kita. Sejarah mencatat bahwa sebelum beliau diutus sebagai nabi, beliau
terkenal sebagai orang yang amanah, jujur, adil, memiliki integritas,
shaleh, dan baik. Dan memiliki kesehatan jasmani dan jiwa stabil serta
kehidupan sederhana, tidak pernah belajar resmi pada seorang guru atau
lembaga pendidikan apapun sehingga dinamakan sebagai "ummi".
Hingga
beliau berumur 40 tahun, kondisi batinnya menjadi berubah, beliau
dengan tegas mengatakan bahwa saya menyaksikan malakiat Jibril As dan
mendengar suaranya, dia datang atas perintah Tuhan dan membawa kabar
berita, saya diangkat sebagai nabi dan diperintahkan untuk menyampaikan
perintah Tuhan kepada umat manusia.
Ketika kembali ke kondisi
semula sebagai manusia biasa, beliau menyampaikan hukum, undang-undang,
aturan-aturan yang bijak, dan ilmu pengetahuan yang tinggi dengan ibarat
yang indah dan fasih sambil mengatakan bahwa kalimat dan ibarat yang
disampaikannya itu adalah sebagaimana yang diwahyukan kepadanya dan
diperintahkan untuk membacakannya di hadapan manusia.
Kitab
al-Quran adalah mukjizatnya dan tak seorangpun yang bisa menandinginya
dan mendatangkan sepertinya. Dan manusia ditantang bahwa jika kalian
merasa ragu maka datangkanlah seperti al-Quran ini.
"Dan jika
kamu (tetap) meragukan Al-Qur'an yang telah Kami turunkan kepada hamba
Kami (Muhammad), maka buatlah (paling tidak) satu surah saja yang
semisal dengan Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah (untuk melakukan hal itu), jika kamu orang-orang yang benar ".
Dan
dalam ayat lain,"Tidaklah mungkin Al-Qur’an ini dibuat oleh selain
Allah; sedangkan (Al-Qur’an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya
dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada
keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. Atau
(patutkah) mereka mengatakan,
“Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah,
“(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah
surah seumpamanya dan panggillah siapa yang dapat kamu panggil (untuk
membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar" .Katakanlah,
“Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa
Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang
lain.”
Al-Quran dengan tegas memperkenalkan dirinya
sebagai mukjizat nabi yang bersumber langsung dari Tuhan dan menantang
para pengingkar al-Quran untuk menghadirkan seperti kita suci itu.
Nabi
Muhammad SAW mengumumkan kepada umat manusia bahwa al-Quran bukanlah
perkataan beliau dan beliau pun tidak bisa menciptakan ayat al-Quran
sesuai dengan keinginannya ataukah mengganti ayat dengan ayat yang lain,
hal sebagaimana diungkapkan,
"Dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan
dengan Kami berkata, “Datangkanlah Al-Qur’an yang lain dari ini atau
gantilah Al-Qur’an ini.”
Katakanlah, “Tidaklah patut bagiku
menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa
yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut kepada siksa hari yang
besar (kiamat) jika aku mendurhakai Tuhanku.”
Katakanlah,
“Seandainya Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu
dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu. Sesungguhnya aku
telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya (dan aku belum pernah
membawakan sebuah ayat pun). Maka apakah kamu tidak memikirkannya?"
"Dan
apabila (ayat Al-Qur’an terlambat turun dan) kamu tidak membawa suatu
ayat Al-Qur’an pun kepada mereka, mereka berkata, “Mengapa tidak kamu
buat sendiri ayat itu?”
Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya
mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al-Qur’an ini adalah
bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk, dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman."
Pada tempat lain, al-Quran
dinamakan sebagai perkataan dari malaikat jibril yang diturunkan dari
Tuhan, kemudian orang yang mendustakan bahwa al-Quran bersumber dari-Nya
akan disiksa dengan azab yang pedih.
"Sesungguhnya Al-Qur’an
itu adalah benar-benar ucapan seorang rasul yang mulia, dan Al-Qur’an
itu bukanlah ucapan seorang penyair; sedikit sekali kamu beriman
kepadanya, dan bukan pula perkataan tukang tenung; sedikit sekali kamu
sadar (dan mengambil pelajaran darinya). Al-Qur’an itu adalah wahyu yang
diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad)
mengada-adakan sebagian ucapan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar
Kami pegang dia dengan kuat, kemudian benar-benar Kami potong urat
jantungnya."
Al-Quran ialah kitab incomparable dan tak ada
tandingannya yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw secara
berangsur-angsur selama 23 tahun. Kandungan kitab ini berupa pengetahuan
transendental yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia dan
menjelaskan masalah-masalah eskatologi, kehidupan setelah mati (alam
akhirat) dengan sedetail-detailnya, dan memaparkan hukum-hukum yang
mencakup segala dimensi kehidupan manusia.
Kitab suci ini
menjelaskan secara gamblang kehidupan para nabi dan umat-umat
sebelumnya, memberikan sebagian berita gaib, mengajak umat manusia untuk
berakhlak mulia dan menjauhkan diri dari akhlak buruk, dan mengemukakan
masalah ekonomi, sosial dan politik.
Al-Quran kaya dengan
kandungan dan sarat dengan pengetahuan transendental yang terungkap
dalam kefasihan kata, kesempurnaan kalimat, dan keindahan ibarat yang
khas. Al-Quran bukan kitab syair dan prosa. Karena mempunyai makna yang
terdalam, trandsenden, dan keindahan ibarat membuat para sastrawan Arab
di zaman nabi terpesona dan takjub sehingga mereka merobek syair-syair
kebanggaan mereka yang ditempelkan di dinding kabah.
Yang
sangat mengherankan ialah bahwa ayat-ayat indah, mempesona, dan lembut
dari al-Quran terpancar dari sosok yang tidak pernah belajar membaca dan
menulis. Akan tetapi, hadis-hadis dan khutbah Rasulullah saw tidak
memiliki keistimewaan seperti al-Quran. Dan perkataan-perkataan beliau
tidaklah berbeda jauh dengan manusia biasa.
Oleh karena itu, kita
bisa katakan dengan tegas bahwa al-Quran bukanlah perkataan Nabi
Muhammad saw, melainkan "perkataan" dan kalam Tuhan yang diilhamkan ke
dalam hati suci beliau lalu hadir dalam bentuk huruf dan kalimat yang
kemudian dia sampaikan kepada umat manusia. Al-Quran ialah mukjizat Nabi
terakhir yang abadi dan merupakan argumen terbaik bagi kenabian beliau,
dengan menelaah al-Quran akan mengantarkan kita kepada Sumber Wahyu,
Tuhan.
Etimologi Wahyu
Secara leksikal, wahyu
memiliki makna yang beragam. Yang paling komprehensif dan sempurna dari
seluruh makna tersebut adalah perpindahan pengetahuan kepada pikiran
orang yang dituju secara cepat dan rahasia sedemikian sehingga
tersembunyi dan tidak nampak bagi semua orang.
Ar-Raghib
menuliskan, "Wahyu adalah sebuah petunjuk yang sangat cepat. Wahyu
terkadang dengan perkataan simbolik, terkadang dalam bentuk suara tanpa
susunan, terkadang dengan isyarah sebagian anggota badan, dan terkadang
dengan tulisan."
Menurut Ibnu Atsir, "Kata wahyu dalam hadis sering dimaknakan sebagai tulisan, isyarat, risalah, ilham dan bisikan."
Dari kedua pemaknaan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wahyu memiliki enam makna sebagai berikut:
1. Bisikan;
2. Suara yang tak terdengar;
3. Isyarat;
4. Tulisan;
5. Risalah dan utusan;
6. Ilham.
Setiap makna di atas mengandung dua unsur: kecepatan dalam pemahaman dan rahasia.
Syekh
Mufid menyatakan, "Makna utama wahyu ialah bisikan, lalu secara mutlak
diartikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk menjelaskan dan
memahamankan sebuah obyek kepada lawan bicara dengan cepat dan
tersembunyi."
Allamah Thaba-thabai berkata, "Wahyu ialah suatu
isyarat dan petunjuk yang cepat."Dan penulis tafsir Ruhul al-Bayan
mengatakan, "Makna inti wahyu ialah isyarat yang cepat, sesuatu
dikatakan sebagai wahyu karena terlaksana dengan cepat, wahyu adalah
pemahaman itu sendiri, memahamkan itu sendiri, dan yang dipahami itu
sendiri."
Dalam makna leksikal wahyu tidak ditekankan secara
khusus subjek pemberi wahyu, baik itu Tuhan, malaikat, manusa, jin, dan
setan. Demikian pula, subjek penerima wahyu tidak ditegaskan secara
khusus, siapa yang menerimanya dan apa yang diwahyukan.
Wahyu dalam Al-Quran
Kata Wahyu dan derivasinya disebutkan 78 kali dalam al-Quran dan seluruhnya memiliki makna yang berbeda-beda, sebagai berikut:
1. Insting dan fitrah
Allah
berfirman, "Dan Allahmu mewahyukan kepada lebah buatlah sarang-sarang
di bukit-bukit, di pohon-pohon dan tempa-tempat yang dibuat manusia."
Syekh
Mufid menuliskan, "Yang dimaksud dengan wahyu adalah ilham tersembunyi.
Lebah memahami tanggung jawabnya tanpa perantaraan kata-kata."
Lebah
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menakjubkan seperti membuat rumah
heksagonal yang bersegi enam, menjaga rumah, melakukan perjalanan jauh
untuk mencari bunga, mengisap saripati bunga, merubah saripati tersebut
menjadi madu, kembali ke sarangnya sendiri, tinggal di sarang mereka,
menjaga ratu, dan puluhan pekerjaan yang menakjubkan. Semua itu muncul
dari insting yang ada pada diri mereka. Berdasarkan insting dan fitrah
serta ilham dari Tuhan lebah melakukan pekerjaan yang menakjubkan
tersebut.
2. Sunnatullah dan Hukum Alam
Allaah
berfirman, "Kemudian Dia menuju pada penciptaan langit dan langit itu
masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "
datanglah kamu keduanya menurut perintahKu dengan suka hati atau
terpaksa". Keduanya menjawab: "kami datang dengan suka hati." Maka dia
menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan dia mewahyukan pada
tiap-tiap langit urusannya. Dan kami hiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang yang cemerlang dan kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui".
Di dalam ayat lain disebutkan, "Apabila digoncangkan
dengan goncangan yang dahsyat dan Bumi telah mengeluarkan beban-beban
berat yang dikandungnya dan manusia bertanya: mengapa Bumi jadi begini?
Pada hari itu Bumi menceritakan beritanya karena sesungguhnya Allaahmu
telah memahyukan (yang sedemikian itu) kepadanya."
Tuhan
menciptakan bumi, langit, dan alam materi sesuai dengan "sunnah" dan
hukum sebab-akibat (kausalitas). Dan alam semesta tersebut berjalan
sesusai dengan "sunnah". Alam semesta memiliki hukum dan "sunnah"
tersendiri dan diatur sesuai dengan "sunnah" tersebut. "Sunnah" tersebut
berasal dari Tuhan dan berjalan sesuai dengan perintah-Nya. Jadi yang
dimaksud dengan wahyu Ilahi dalam ayat tersebut yaitu sunnatullah dan
hukum alam.
Sebagian penafsir menjelaskan bahwa wahyu yang dimaksud pada ayat itu adalah wahyu kepada ahli langit yakni para malaikat.
Dari
kedua ayat ini ada dua hal penting yang bisa kita tarik kesimpulan
pertama wahyu turun tidak melalui perantaraan kata-kata dan yang kedua
penerima wahyu tidak mesti harus yang berakal.
3. Ilham, bisikan, dan inspirasi ke dalam hati.
Al-Quran
dalam masalah ibu Nabi Musa As mengatakan, "Yaitu ketika kami
mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan yaitu letakkanlah ia
(Musa) di dalam peti kemudian lemparkanlah ia kesungai Nil maka pasti
sungai itu membawanya ke tepi supaya di ambil oleh musuh-Ku."
Dalam
ayat lain dikatakan, "dan kami ilhamkan kepada ibu Musa " susukanlah
dia apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke dalam
sungai Nil dan janganlah kamu khawatir dan jangan pula bersedih hati
karena sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu dan
menjadikannya salah seorang dari para rasul."
Penerima wahyu pada
kedua ayat tersebut adalah ibu nabi Musa as, dan sudah tak bisa
dipungkir bahwa wahyu tersebut bukanlah wahyu yang diterima para nabi as
tetapi satu bentuk pemberian pemahaman secara sembunyi, ilham,
inspirasi dan bisikan ke dalam hati baik dalam tidur maupun ketika
terjaga.
Syekh Mufid berkata, "kaum muslimin sepakat bahwa ibu nabi Musa diberikan wahyu apakah ketika terjaga ataukah ketika tidur."
4. Isyarah
Allah
Swt berfirman dalam surah Maryam ayat 10-11, "Zakaria berkata: ya
Allahku berilah aku suatu tanda Allah berfirman tanda bagimu ialah
bahwa kamu tidak dapaat bercakap-ccakap dengan manusia selama tiga malam
padahal kamu sehat. maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya lalu ia
memberi isyaraat kepadamereka hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan
petang."
Pada ayat lain dinukilkan kisah Nabi Zakaria As pada
surah Ali Imran ayat 41, "Berkata Zakaria berilah aku suatu tanda (bahwa
isteriku telah mengandung) Allah berfirman : tandanya bagimu kamu tidak
dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan
isyarat dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di
waktu petang dan pagi hari."
Dalam kedua ayat tersebut yang
memberikan wahyu adalah Nabi Zakaria As dan penerima wahyu adalah
kaumnya, wahyu adalah memberikan pemahaman dalam bentuk isyarat dimana
hanya orang yang diajak bicara saja yang bisa memahaminya.
5. Wahyu kepada hawariyyun (pengikut khusus Nabi Isa As)
Allah
Swt berfirman dalam surah al-Maidah ayat 111, "Dan ingatlah ketika Aku
ilhamkan kepada pengikut nabi isa as yang setia: " berimanlah kamu
kepadaKU dan kepada rrrasulKu". Mereka menjawab : " kami telah beriman
dan saksikanlah wahai rasul bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang
yang patuh (kepada seruanmu)."
Pemberi wahyu dalam ayat ini adalah
Allah swt dan penerima wahyu adalah Hawariyyun dan sahabat nabi Isa as.
Sebagain penafsir memberikan kemungkinan yang dimaksud hawariyyun
adalah nabi juga. Oleh karena itu, wahyu mereka terima termasuk dalam
wahyu istilah. Akan tetapi karena kenabian mereka belum bisa dibuktikan
maka wahyu dalam ayat tersebut bermakna bisikan yang diinspirasikan dan
diilhamkan ke dalam hati.
6. Wahyu kepada Malaikat
Allaah
Swt berfirman dalam surah al-Anfal ayat 12, "Ingatlah ketika Allahmu
mewahyukan kepada para malaikat: "sesungguhnya aku bersama kamu, maka
teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman". kelak akan
jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir maka penggallah
kepala mereka dan potonglah tiap-tiap ujung jari mereka."
Dalam
ayat di atas disebutkan bahwa pemberi wahyu adalah Allah swt dan
penerima wahyu adalah para malaikat, akan tetapi bukan wahyu kenabian
dan bukan juga dengan perantaraan suara dan percakapan, karena para
malaikat bukan makhluk jasmani.
7. Wahyu dari Setan
Allaah
Swt berfirman dalam surah al-An'am ayat 121, "Dan janganlah kamu
memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu
kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar
mereka membantah kamu dan jika kamu menuruti mereka sesungguhnya kamu
tentulah menjadi orang-orang musyrik."
Dalam surah al An'am
ayat 112 disebutkan, "Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi
itu musuh, yaitu syaitan-syaitan dari jenis manusia dan dari jenis jin
sebagian dari mereka membisikkan atas sebagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah untuk menipu, jikalau Allahmu menghendaki
niscaya mereka tidak megerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa
yang mereka ada-adakan."
Pemberi wahyu dalam ayat di atas adalah
setan dari jin dan manusia yang membisikkan sesuatu yang menyesatkan.
Oleh karena itu, wahyu bermakna pembicaraan rahasia dan rasa was was
yang dibisikkan ke teliga yang lain. Karena setan dari jin dan manusia
adalah pemberi wahyu yang menghembuskan rasa was-was ke dalam hati
manusia dan menyesatkannya.
8. Wahyu kepada Para Nabi
Sekalipun
dalam al-Quran kata wahyu digunakan untuk selain para nabi sebagaimana
telah kami sebutkan, akan tetapi mayoritas kata wahyu tersebut digunakan
untuk para nabi. Sebagai contoh, Allah Swt berfirman dalam surah
an-Nisa ayat 163, "Sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu
sebagaimana kami telah berikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi
kemudiannya, dan kami telah berikan wahyu pula kepada Ibrahim, Ismail,
Ishaq, Ya'qub dan anak-anak cucunya. Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan
sulaiman. Dan kami berikan Zabur kepada Daud."
Dan dalam surah
Yusuf ayat 3, "Dan kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik
dengan mewahyukan al quran kepadamu dan sesungguhnya kamu sebelum (kami
mewahyukannya) adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui."
Begitu
pula dalam surah al-An'am ayat 19 disebutkan, "Katakanlah siapakah yang
lebih kuat persaksiannya? Katakanlah: Allah" dia menjadi saksi antara
aku dan kamu dan al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya Dia dengan aku
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Quran
kepadanya."
Puluhan ayat akan kami paparkan dalam pembahasan yang
akan datang. Dalam hal ini, pemberi wahyu adalah Allah Swt dan penerima
wahyu adalah para nabi. Wahyu adalah pengetahuan dan berita yang
diturunkan oleh Allah Swt untuk manusia. Sekalipun dari segi bahasa
wahyu adalah bisikan dan inspirasi yang diberikan kepada orang yang
diajak bicara secara sembunyi dan cepat serta memiliki makna yang sangat
luas, namun wahyu yang diberikan kepada para nabi memiliki perbedaan
yang esensial dimana akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Istilah Wahyu
Sepanjang
sejarah, Para nabi mengaku bahwa mereka memiliki hubungan langsung dan
khusus dengan Tuhan, mereka menerima hakikat di mana manusia biasa tidak
akan mampu menampungnya. Para nabi melihat dan mendengar suara Malaikat
sang pembawa wahyu dengan indra-indra batin. Dan para nabi bertugas
untuk menyampaikan berita dan perintah Tuhan kepada umat manusia,
membimbing dan memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya. Hubungan khusus
yang bersifat rahasia itu, dalam istilah, disebut sebagai wahyu.
Syekh
Mufid menyatakan, "Ketika wahyu dinisbahkan kepada Tuhan, dalam istilah
Islam, maka wahyu itu hanyalah dikhususkan kepada para nabi As."
Hamu
menuliskan, "Terkadang Tuhan mengispirasikan sesuatu kepada sebagian
manusia dalam keadaan tidur dan kemudian hal tersebut benar-benar
terjadi, maka inspirasi ini dalam terminologi Islam tidak disebut wahyu.
Dengan demikian, tidak dikatakan bahwa fulan telah mendapatkan wahyu.
Kami meyakini bahwa para imam suci menerima ilmu akan tetapi tidak
disebut sebagai wahyu, hal ini karena kaum muslimin sepakat bahwa pasca
Nabi Muhammad saw tidak turun lagi wahyu kepada seorangpun."
Telah
banyak defenisi wahyu yang telah dikemukakan, akan tetapi bukanlah
defenisi yang bersifat hakiki. Pada dasarnya, kita mustahil
mendefenisikan wahyu dari segi hakikatnya, karena wahyu bukanlah sejenis
hubungan biasa sehingga kita bisa memahaminya kemudian
mendefenisikannya.
Allamah Thabathabai mengungkapkan, "Wahyu
ialah sejenis makrifat dan pengetahuan khusus di dalam batin para nabi
dimana tak seorangpun bisa mengetahuinya kecuali dengan bantuan dan
inayah Tuhan."
Lebih lanjut dia katakan, "Wahyu ialah perkara yang
sangat ajaib, sejenis persepsi-persepsi batin, dan pengetahuan yang
sangat simbolik dimana tidak terjangkau oleh indra-indra lahiriah."
Dan
Muhammad Farid berkata, "Wahyu adalah pengajaran Tuhan kepada para nabi
dengan perantaraan malaikat mengenai perkara-perkara agama.
Muhammad
Rasyid Ridha berkata, "Mereka mendefenisikan wahyu sebagai pengajaran
Tuhan tentang hukum agama kepada salah seorang nabi, akan tetapi saya
mendefenisikan wahyu sebagai sebuah bentuk pengetahuan dimana seseorang
mendapatkannya dalam dirinya sendiri dan meyakini bahwa hal tersebut
dari Tuhan baik dengan perantara ataupun tanpa perantara."
Zarqani
menulis, "Wahyu dalam defenisi agama adalah bahwa Tuhan
menginformasikan apa-apa yang hendak diajarkan kepada hamba-hamba
pilihan-Nya namun dengan cara rahasia dan tersembunyi."
Dalam
agama Kristen, John Hick mendefiniskan wahyu sebagai berikut, "Wahyu
adalah kumpulan hakikat-hakikat yang termanifestasikan dalam bentuk
hukum-hukum dan proposisi-proposisi. Dengan perantaraan wahyu,
perkara-perkara hakiki dan pengetahuan Ilahi berpindah kepada manusia."
Dalam
Eksiklopedia Katolik disebutkan, "Wahyu didefenisikan sebagai
perpindahan sebagian hakikat-hakikat dari Tuhan kepada makhluk yang
berakal melalui suatu perantaraan yang dalam bentuk suatu proses alami.
Sementara dalam Kitab Muqaddas tertera, "Pada umumnya, yang dimaksud dengan wahyu adalah ilham."
Sebagaimana
anda perhatikan bahwa semua defenisi yang kami telah kemukakan itu
tidaklah menjelaskan hakikat wahyu, akan tetapi hanyalah penjelasan yang
bersifat semantik.
Poin penting yang harus disampaikan adalah kata "wahyu" telah digunakan di tiga tempat :
1. Bermakna mengirim wahyu dimana merupakan sifat dari pemberi wahyu;
2. Bermakna pengetahuan dan pemahaman atas sesuatu, yakni sebagai sifat dari penerima wahyu;
3.
Bermakna diwahyukan yakni hasil dari perbuatan Tuhan dan para nabi
dimana merupakan sifat dari ilmu-ilmu, pengetahuan-pengetahuan, dan
hukum-hukum agama. Maka dalam hal ini, al-Quran digolongkan sebagai
wahyu.....