Sementara angin merambah pelan di sudut-sudut ruang
Tempat dimana engkau memainkan senyum padaku
Seperti petir menyambar lantas bara tertinggal
Di ujung dedaunan yang mengering
Tak kusangka aku hanyut dalam tarianmu yang gemulai
Menjadi bayang-bayang menusuk tajam disetiap patah mata
Bagai pisau mengikis bebatuan dengan air basuhan
Yang perlahan sirna dalam beberapa patah aksara mengambang
Menghantarkanmu di sebuah rumah tiada pintu
Tak terasa tulisanmu begitu lamat terbaca
Meski sudah menjadi nama tereja
Pada bidak bianglala
Air mengalir pastilah kan sampai pada lautan samudra
Rupa telah sirna,
Tapi waktu kan tetap menggenggam timbunan cerita
.
.
.
.
300812
Tidak ada komentar:
Posting Komentar